Gaza Bergolak! Serangan Israel Tewaskan 14 Warga, Negara Lain Bersiap Akui Palestina

Konflik di Gaza kembali memanas! Serangan udara Israel di Kota Gaza dilaporkan menewaskan sedikitnya 14 warga Palestina, termasuk kerabat direktur Rumah Sakit Shifa. Peristiwa ini terjadi di tengah persiapan beberapa negara untuk mengakui negara Palestina. Sementara itu, ribuan warga terpaksa mengungsi dari reruntuhan kota yang telah luluh lantak akibat perang selama hampir dua tahun. Artikel ini akan mengupas tuntas situasi terkini, dampak kemanusiaan yang mengerikan, serta implikasinya terhadap peta politik global.

Kekacauan di Gaza: Serangan Mematikan dan Pengungsian Massal

Kondisi di Gaza City semakin memprihatinkan. Ribuan warga Palestina terpaksa meninggalkan rumah mereka, mencari tempat aman di Jalur Gaza bagian selatan. Evakuasi ini terjadi menyusul imbauan militer Israel untuk mengosongkan kota. Namun, ratusan ribu orang masih bertahan di sana, di tengah kota yang sudah porak-poranda akibat perang dan dilanda kelaparan. Data terbaru menyebutkan sedikitnya 14 orang tewas dalam serangan semalam, menambah daftar panjang korban jiwa di wilayah yang sudah berkonflik selama hampir dua tahun.

Tragedi Kemanusiaan yang Makin Dalam

Di antara korban tewas terdapat enam kerabat dari Direktur Rumah Sakit Shifa, Dr. Rami Mhanna, yang rumahnya menjadi sasaran serangan. Lima orang lainnya dilaporkan tewas dalam serangan terpisah di dekat Lapangan Shawa. Militer Israel menyatakan bahwa mereka beroperasi untuk melumpuhkan infrastruktur militer Hamas dan mengambil langkah pencegahan untuk meminimalkan korban sipil, namun di lapangan, kenyataan pahit terus berulang.

Proses evakuasi berjalan penuh kepedihan. Warga terpaksa membawa harta benda seadanya, mendorong gerobak atau memikul barang di punggung mereka. Rute evakuasi, seperti Jalan Pesisir Wadi Gaza, dipenuhi oleh mereka yang kelelahan dan butuh istirahat sejenak. Tanpa akses air bersih, listrik, atau internet, banyak warga merasa seperti dilempar ke dalam ketidakpastian.

“Kami menuju ke tempat yang tidak diketahui. Tidak ada yang tahu mau ke mana,” ujar Faris Swafiri, salah seorang pengungsi.

Kelompok bantuan kemanusiaan telah berulang kali memperingatkan bahwa pemaksaan evakuasi ini akan memperburuk krisis kemanusiaan yang sudah sangat parah. Mereka mendesak gencatan senjata agar bantuan dapat tersalurkan kepada mereka yang membutuhkan.

Perjuangan Keluarga Sandera dan Pengakuan Negara Palestina

Di tengah eskalasi konflik di Gaza, ribuan warga Israel, termasuk keluarga para sandera yang masih ditahan Hamas, menggelar aksi unjuk rasa. Mereka menuntut Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk segera bernegosiasi mengakhiri perang. Protes terjadi di Yerusalem dan Tel Aviv, bahkan ada spanduk besar yang ditujukan kepada Presiden AS Donald Trump, memohon bantuan untuk mengakhiri perang.

Aksi ini mencuat bersamaan dengan kabar baik (atau kabar buruk, tergantung sudut pandang) dari beberapa negara Barat yang bersiap mengakui negara Palestina. Negara-negara seperti Inggris, Prancis, Kanada, Australia, Malta, Belgia, dan Luksemburg dikabarkan akan mengambil langkah ini dalam Sidang Umum PBB mendatang. Portugal bahkan telah menetapkan tanggal resmi, yaitu Minggu ini.

Perjuangan Panjang Menuju Kemerdekaan

Langkah-langkah pengakuan negara Palestina ini menjadi sorotan internasional. Meskipun belum ada kepastian kapan dan bagaimana prosesnya akan berjalan sepenuhnya, ini menjadi indikasi pergeseran politik global terkait isu Palestina.

Di sisi lain, keluarga para sandera mengungkapkan kekecewaan mendalam. Mereka menuduh Netanyahu menggunakan nyawa orang-orang terkasih mereka sebagai alat politik untuk mempertahankan kekuasaannya. “Selama ada perang, Netanyahu punya pemerintahan,” ujar mereka dalam sebuah pernyataan.

Kisah Sandera dan Harapan yang Belum Padam

Angka sandera yang masih ditahan Hamas kini tersisa 48 orang, dengan perkiraan kurang dari separuh di antaranya masih hidup. Kelompok militan pimpinan Hamas menyerbu Israel selatan pada 7 Oktober 2023, menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyandera 251 lainnya.

Kisah pilu datang dari Edan Alexander, seorang pemuda Israel-Amerika yang dibebaskan setelah 584 hari disandera. Ia berencana kembali bergabung dengan dinas militer Israel bulan depan. “Kita tidak bisa melupakan mereka. Kita tidak boleh berhenti sampai mereka semua pulang,” katanya, menegaskan semangat perjuangan yang belum padam.

Bantuan Kemanusiaan Terhambat: Makanan Anak Dicuri!

Bantuan kemanusiaan yang seharusnya meringankan penderitaan warga Gaza justru menjadi korban. UNICEF melaporkan bahwa makanan terapeutik vital untuk ribuan anak Gaza dicuri dari empat truknya di Kota Gaza. Aksi perampokan ini dilakukan oleh sekelompok orang bersenjata yang menodongkan senjata kepada para sopir.

Perang yang Tak Berampun

“Makanan ini ditujukan untuk mengobati anak-anak malnutrisi di Kota Gaza di mana kelaparan telah dinyatakan… ini adalah pengiriman yang menyelamatkan nyawa di tengah pembatasan ketat pengiriman bantuan ke Kota Gaza,” ujar Ammar Ammar, juru bicara UNICEF.

Militer Israel menuding Hamas sebagai pelaku pencurian ini, sementara PBB menyatakan ada mekanisme yang mencegah penyaluran bantuan secara signifikan. Angka korban tewas di Gaza sendiri telah melampaui 65.100 sejak serangan Hamas yang memicu perang ini, menurut Kementerian Kesehatan Gaza.

Konflik ini terus memporak-porandakan Timur Tengah dan semakin menjauhkan harapan akan gencatan senjata. Analis memprediksi operasi militer Israel bisa memakan waktu berbulan-bulan.

Sumber:

Share this article

Back To Top